Halaman

Jumat, 08 Oktober 2010

Orang Perancis tidak bisa/mau berbahasa Inggris?

Inilah stereotipe yang paling banyak dianggap orang sebagai benar, sehingga kalau saya mau membahasnya maka harus dibahas dalam posting tersendiri. Hari ini hari terakhir saya di Perancis, besok pagi piket saya sudah berakhir dan siangnya saya akan berangkat pulang ke Belanda. Bisa jadi ini post terakhir saya soal Perancis.
Stereotipe keengganan orang Perancis untuk berbicara bahasa Inggris ini kadang-kadang dibumbui dengan satu stereotipe paling terkenal: Orang Perancis kasar luar biasa. Yak, tidak hanya orang Perancis tidak mau berbahasa Inggris tapi juga akan melengos dan memaki-maki begitu diajak bicara dengan bahasa selain Perancis.
Reputasi Kardinal Richelieu tidak terlalu baik setelah ditampilkan sebagai tokoh antagonis dalam Les Trois Mousquetaires karya Alexandre Dumas.
Satu hal yang pasti, Orang Perancis memang bangga sekali dengan bahasa mereka. Bahkan di Perancis ada institusi yang menjadi otoritas dalam hal Bahasa Perancis, namanya Académie française. Didirikan semenjak abad ke-17 (tepatnya pada tahun 1635, pada masa pemerintahan Raja Louis XIII) oleh Kardinal Richelieu (menjadi terkenal semenjak beliau menjadi tokoh antagonis dalam Les Trois Mousquetaires karya Alexandre Dumas), Académie française punya otoritas dalam segala hal terkait Bahasa Perancis: urusan penggunaan, kosa kata, maupun tata bahasa Perancis. Akan tetapi rekomendasi-rekomendasi Académie tidak punya legalitas hukum dan orang bebas menaati maupun tidak.
Sebagai sebuah institusi yang memiliki tugas berat untuk mempertahankan identitas Bahasa Perancis di tengah-tengah serbuan kata-kata berbahasa Inggris (istilah kerennya anglicisation atau anglisisasi), Académie banyak dikritik di sana-sini sebagai lembaga yang konservatif. Salah satu tugas spesifik Académie française adalah mencari padanan kata-kata baru dan usaha mereka menemui kesuksesan yang beragam. Penggunaan ordinateur ketimbang computer, misalnya, berhasil diterapkan pun juga halnya dengan logiciel ketimbang software. Namun kesuksesan penggunaan baladeur dan courriel untuk menggantikan walkman dan e-mail tidak sepenuhnya berhasil. Pengalaman saya, bila saya pergi ke toko elektronik semuanya bilang baladeur MP3 (MP3 player) namun komunikasi saya dengan banyak orang masih menyebut e-mail sebagai mail (namun untuk surat yang dikirim dengan pos mereka masih menggunakan courrier. Courriel sendiri adalah gabungan dua kata yaitu courrier dan électronique). Yang menjadi tamparan menyakitkan bagi Académie adalah pengenalan vacancelle yang gagal total menggantikan weekend. Semua orang Perancis yang saya temui selalu mengucapkan “bon week-end” (“have a nice week end” atau “selamat berakhir minggu”) dan usaha saya untuk mengucapkan “bon vacancelle” akan disambut dengan tatapan kebingungan.
Apabila saya ada kesempatan menonton televisi, saya perhatikan seluruh acara TV berbahasa non-Perancis disulih suara ke dalam Bahasa Perancis. Bila saya ingin menonton film bioskop berbahasa non-Perancis, saya harus memperhatikan apakah film tersebut VO (version originale, versi berberbahasa asli dengan subtitle Bahasa Perancis) atau VF (version française, versi yang sudah disulih suara ke Bahasa Perancis).
“Musuh bebuyutan” Orang Perancis semenjak lama, Orang Inggris, bahkan pernah diperintah oleh banyak raja-raja yang berbahasa Perancis dan berbahasa Inggris pun tidak mampu. Salah satu Raja Inggris paling ternama, Richard I “Berhati Singa”, meskipun lahir di Oxford namun tidak bisa berbahasa Inggris dan hanya berada di Inggris selama enam bulan dalam hidupnya. Motto kerajaan Inggris hingga kini bahkan masih berbahasa Perancis, yaitu Dieu et mon droit, menunjukkan warisan pengaruh Perancis terhadap Inggris. Pada abad ke-17 hingga abad ke-19, Perancis adalah bahasa diplomasi dan bahasa orang-orang berpendidikan. Raja-ratu terkenal dari luar Perancis seperti Friedrich Yang Agung dari Prusia dan Yekaterina yang Agung dari Rusia berkomunikasi dalam Bahasa Perancis. Dalam diplomasi dan sastra, bisa dikatakan bahwa lingua franca Eropa antara abad ke 17 hingga sebelum Perang Dunia II adalah Bahasa Perancis.
Dengan situasi seperti ini, kita bisa memaklumi apabila orang Perancis tidak bisa atau enggan berbahasa Perancis. Kebijakan-kebijakan untuk mempertahankan Bahasa Perancis sedikit-banyak telah membentuk pola pikir masyarakat bahwa mereka tidak membutuhkan bahasa lain selain Perancis. Belum lagi kebanggaan terhadap Bahasa Perancis dan juga kesadaran historis mengenai posisi Bahasa Perancis dalam percaturan politik Eropa.
Namun dunia kini telah berubah dan Bahasa Inggris menjadi lingua franca tidak hanya Eropa namun juga sebagian besar dunia. Naiknya Bahasa Inggris menjadi bahasa komunikasi tidak lepas dari pengaruh politik luar negeri Amerika Serikat dan juga adanya internet. Kini Bahasa Inggris kurang-lebih telah disederhanakan menjadi bahasa globish. Orang Perancis juga rupanya sadar akan hal ini dan perlahan-lahan mulai mempelajari Bahasa Inggris. Dalam salah satu diskusi yang saya baca, hanya 34% Orang Perancis yang tidak bisa berbahasa Inggris dan sisanya berbahasa Inggris dengan derajat yang berbeda-beda. Enam persen mengaku menguasai Bahasa Inggris baik lisan maupun tertulis, 12% fasih berbicara Bahasa Inggris, dan sebanyak 48% merasa “kurang-lebih” memahami Bahasa Inggris namun tidak fasih berbicara.
Jadi sebenarnya mayoritas Orang Perancis bisa Berbahasa Inggris namun ada faktor-faktor yang menghambat mereka, antara lain misalnya faktor malu dan kebanggaan nasional. Yap, tidak hanya di Indonesia, urusan malu rupanya masih jadi faktor bahkan di negara semacam Perancis. Pun juga urusan kebanggaan nasional. Mengenai malu ini, banyak yang berkata pada saya bahwa Orang Perancis merasa Bahasa Inggris mereka pas-pasan oleh karena itu mereka merasa lebih baik tidak bicara daripada memalukan. Barangkali mereka ini termasuk yang 48% ini.
Kalau persoalan kebanggaan nasional, banyak juga yang bilang Orang Perancis merasa bahwa orang-orang yang tiba-tiba menghampiri mereka dan mengajak bicara dalam Bahasa Inggris adalah orang yang tidak sopan. Kesannya seperti seorang imperialis bahasa dan lagipula orang Perancis merasa bahwa seluruh dunia tidak mesti berbahasa hanya satu (kalau hanya satu bahasa tapi Bahasa Perancis, saya kurang tahu apakah Orang Perancis akan berpendapat lain). Nah, kalau di Indonesia ini mungkin seperti Orang Jawa dengan kebudayaan unggah-ungguhnya. Ngono yo ngono ning mbok yo ojo ngono (Begitu ya begitu tapi jangan begitu), sopan sedikit lah jangan main tembak berbahasa Inggris tapi kulonuwon dulu dan maturnuwun sesudahnya. Jadi, seandainya orang minimal bisa menyapa dengan “Bonjour” (Selamat Siang) dan bertanya “Parlez-vous Anglais?” (Bisakah Anda berbahasa Inggris?) saya pikir Orang Perancis yang Bahasa Inggris-nya pas-pasan (dan tidak sedang sibuk maupun bete) pun mau membantu.
Kesadaran akan perlunya berbahasa Inggris ini semakin nyata terlihat ketika banyak blogger Perancis (secara persentase, di Perancis ada lebih banyak blogger daripada di Amerika Serikat) yang memprotes walk-out-nya Presiden Jacques Chirac dari sebuah sidang puncak Uni Eropa karena salah satu menterinya berbicara kepada hadirin sidang dalam Bahasa Inggris.
Teman-teman saya yang asal Perancis semuanya berbahasa Inggris dengan lancar dan tidak masalah berkomunikasi dalam Bahasa Inggris bila saya semakin kesulitan memahami apa yang mereka ucapkan. Salah satu hal yang saya kurang sukai adalah, hampir pasti bila ada lebih dari satu orang Perancis di dalam satu ruangan maka mereka akan berkomunikasi dalam Bahasa Perancis dan melupakan satu orang—yaitu saya—yang Bahasa Perancisnya kurang lancar. Menurut saya ini kurang sopan dan sejujurnya ini juga sering terjadi dengan orang Indonesia. Itulah sebabnya sebisa mungkin saya selalu mengingatkan kepada teman-teman Indonesia agar berkomunikasi dalam Bahasa Inggris apabila di ruangan yang sama ada kenalan yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
Saya juga banyak bertemu orang-orang yang dengan sukarela, tanpa diminta, berbahasa Inggris. Pada kali pertama saya tiba di Paris, di sekitar Gare de L’est, saya bertanya pada seorang tua di jalan, “Excusez-moi monsieur, pour aller à Gare du Nord?” (Permisi Bapak, mau pergi ke Stasiun Utara lewat mana?). Si Bapak lalu menjawab, “Gare du Nord? C’est pas loin… C’est tout droit là bas… C’est pas loin… you could walk… you could walk…” (Stasiun Utara? Gak jauh kok… lurus saja ke sana… bisa jalan kaki kok… bisa jalan kaki…) Banyak resepsionis hotel di sepanjang Sungai Loire dan di suatu desa di Burgundy berpindah ke Bahasa Inggris, dan bahkan seorang polisi di Tours mewawancarai saya dalam Bahasa Inggris.
Banyak juga Orang Perancis yang bisa berbahasa selain Inggris, termasuk Bahasa Indonesia. Kemampuan Berbahasa Indonesia ini rata-rata diperoleh karena pernikahan, pekerjaan, atau studi. Salah satu sekolah bahasa terpandang di Paris, INALCO (Institut national des langues et civilisations orientales), memiliki kurikulum pengajaran Bahasa Indonesia, dan salah satu institut terkemuka untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial, EHESS (École des hautes études en sciences sociales), adalah satu dari beberapa institut terkemuka di dunia untuk mempelajari Indonesia. Selama bertahun-tahun EHESS dipimpin oleh Denys Lombard, salah satu pakar Asia Tenggara yang menulis karya penting antara lain Le carrefour javanais (Nusa Jawa: Silang Budaya).
Pada suatu hari, pada akhir 2007, saya dan teman saya di Paris mengantar seorang teman dari Indonesia yang sedang berkunjung untuk menghadiri festival film pendek. Kami menemaninya ke Kuburan Père Lachaise, tidak hanya untuk mengunjungi makam Jim Morrison tetapi juga sejarawan dan filsuf yang karya-karyanya pernah menjadi makanan sehari-hari teman kami ini. Sukses menemukan kuburan Jim Morrison dan juga Fernand Braudel, kami lalu sibuk mencari makam filsuf Pierre Bourdieu. Sementara kami berdiskusi menentukan arah, tiba-tiba ada bapak-bapak Perancis berseru, “Bourdieu ada di sana!” Kami kaget. Siapa sangka di tengah-tengah kuburan di Perancis bisa berjumpa bule Perancis yang berbahasa Indonesia? Kami mengikuti beliau ke arah yang dia tunjuk. Di tengah jalan, kami berhenti sebentar di kuburan Antoine-Augustin Parmentier dan dia menunjuk, “ini kuburan Parmentier. Lihat itu di pojok nisannya ada kentang.” Saya tersenyum melihat orang menaruh kentang di pojok nisan Parmentier, seorang yang gigih memperjuangkan kentang sebagai makanan pokok manusia. Sebelum usaha Parmentier ini, banyak ahli nutrisi yang percaya kentang tidak layak dimakan dan hanya cocok sebagai makanan ternak. Kini kentang menjadi salah satu makanan pokok orang Eropa. Mungkin orang yang menaruh kentang di pojok nisan Parmentier adalah penggemar kentang goreng.
Kami lalu berpisah dan pergi menuju makam Bourdieu. Kami berharap telah terjadi apresiasi dua arah antara dua bangsa yang berlainan ini: Bahasa Indonesia juga dipelajari oleh orang Perancis, dan ada orang Indonesia yang bisa mengapresiasi Pierre Bourdieu.

1 komentar:

  1. artikelnya keren. fiksi sekali . dapat pengetahuan baru lagi. hehe

    BalasHapus